(Ilustrasi : KS. Narjono) |
Ivansyah merasa kasihan dengan kedua orangtuanya yang telah banyak mengeluarkan biaya kuliahnya hingga akhirnya dia berhasil meraih gelar Insinyur di bidang arsitektur. Dua ekor kerbau dan sebagian ladangnya dijual untuk membiayai anaknya yang semata wayang dan sangat dicintainya. Namun, setelah mendapatkan gelar ST, ternyata masih sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Sudah hampir setahun dia mendapatkan predikat sebagai Panji Klantung. Untunglah hal itu tidak terlalu berkepanjangan, tatkala di suatu pagi ada teman ayahnya yang menawarkan pekerjaan untuknya. Kedua orangtuanya sangat bersuka cita dengan tawaran kerja yang diberikan kepada anaknya. Sebuah vila tua di kawasan Kota Batu, Jatim, yang tak jauh dari rumahnya, disuruh memugarnya.
“Nak, vila itu sudah lama sekali tidak berpenghuni. Konon yang punya warga Belanda. Tetapi, setelah ditinggal pulang ke negaranya, vila itu dibiarkan mangkrak begitu saja. Namanya Tuan Willem yang katanya telah meninggal beberapa tahun lalu. Lalu Tuan Frans yang masih sepupunya, yang memberikan order kepada Nak Ivansyah, menyuruh aku untuk menunggu vilanya. Tetapi, berhubung rumahku berdekatan sekali dengan vila itu, aku hanya cukup mengawasi vila itu dari rumahku. Lagi pula keamanan di kampung ini, aman-aman saja,” sambut Pak Truna yang sudah setengah baya menyambut kedatangan Ivansyah.
“Ya, aku sudah mendengar riwayat vila itu dari Pak Frans. Beliaulah yang mengatakan bahwa vila ini diserahkan sepenuhnya kepada Pak Frans untuk mengawasinya”. Ivansyah yang datang di siang hari bolong berkata kepada Pak Truna seraya mengamat-amati vila yang akan dipugarnya.
“Oh ya, kata Pak Frans, Nak Ivansyah disuruh oleh Pak Frans bermalam di rumahku untuk beberapa hari. Tentang biaya makan dan sebagainya, Pak Frans yang menanggungnya,” Pak Truna menawarkan jasanya.
“Terima kasih atas tawaran Pak Truna. Tetapi, kalau aku ingin bermalam saja di vila itu apakah tidak bisa Pak ?” pandangannya diarahkan ke vila.
“Oh…..boleh-boleh saja Nak. Tetapi, aku harus membersihkan vila tersebut” Pak Truna menjelaskan.
“Ah…tetapi jangan Pak Truna sendirian yang membersihkan. Aku juga akan membantu membersihkannya” Ivansyah merasa kasihan kepada Pak Truna.
Akhirnya setelah vila itu bersih dari kotoran, terutama debu, Ivansyah memutuskan untuk bertempat tinggal di situ. Kalau malam tiba, dia ditemani dengan setia oleh radio transistor kecil yang sengaja dibawanya dari rumah. Tak terasa sudah hampir seminggu dia berada di vila itu. Dia memugarnya bersama beberapa kuli bangunan.
Sebagian besar kuli-kuli yang diajak memugarnya itu adalah penduduk setempat yang ada di sekitar Batu. Dengan demikian tukang-tukang itu usai menunaikan pekerjaannya selalu pulang ke rumah mereka masing-masing. Malam itu adalah malam Jum'at Kliwon. Dia mendengar dari beberapa orang, kalau malam Jum'at kliwon seperti malam itu diusahakan untuk tidak tidur sore-sore. Lebih baik untuk tidur setelah jam 12 malam ke atas. Namun, entah karena apa, pada malam Jum'at Kliwon itu mata Ivansyah rasanya penat sekali. Meski malam itu sudah minum kopi kental dan beberapa kue agar tidak tidur sore-sore, toh rasa penat di mata Ivansyah hampir tak tertahankan.
Kalau malam Jum'at tiba biasanya Pak Truna datang berkunjung ke vila menemani dia ngobrol. Namun pada malam tersebut, Pak Truna dengan keluarganya turun ke kota untuk mendatangi temannya yang mempunyai hajad mengawinkan putranya. Jam tangan yang diletakkan di atas bufet sudah menunjukkan jam setengah dua belas malam.
Ketika Ivansyah akan beranjak ke tempat tidurnya, tiba-tiba dia mendengarkan suara desis seperti asap. Ternyata benar juga. Yang terdengar mendesis tersebut tiada lain dua buah asap kecil berwarna biru muda di ruang tamu yang ada di dekat kamarnya. Rasa kantuk Ivansyah hilang seketika bersamaan dengan pemandangan aneh tersebut. Asap itu semakin lama semakin membumbung tinggi. Dan, akhirnya, kedua asap itu membentuk menjadi dua buah tengkorak manusia.
Dengan berjalan tertatih-tatih, kedua tengkorak itu mendekatinya. Ivansyah dengan sisa-sisa kekuatannya segera menyambar sebuah kayu belandar yang kebetulan ada di sampingnya. Dengan menggunakan kayu itu dia mengayunkannya dengan sekuat tenaga ke arah kedua tengkorak yang tinggal berjarak satu meter dengannya. Ayunan itu tepat mengenai kedua tengkorak itu secara bergantian. Entah sudah berapa kali Ivansyah dengan membabi-buta menerjangkan kayu tersebut tepat mengenai tulang-belulangnya menjadi berkeping-keping. Tetapi, setelah kedua tengkorak itu hancur, tiba-tiba sebuah keajaiban terjadi. Tulang-tulang itu dengan cepat menjadi tengkorak kembali.
Kemudian membentuk wujudnya semula menjadi tengkorak kembali secara utuh. Kemudian bergerak mendekati Ivansyah lagi. Setelah hancur, proses semula terjadi lagi. Tengkorak-tengkorak itu utuh kembali lalu berjalan mendekatinya lagi. Lama-kelamaan nyali Ivansyah untuk menyerang kembali menjadi pupus. Kekuatannya untuk menyerang telah punah.
Akhirnya, dia lemas dan tak sadarkan diri. Setelah terjadi peristiwa itu keesokan paginya vila itu ramai dikunjungi para tetangga.
Salah satu di antara tetangga itu tiba-tiba menemukan dua buah lobang besar sebesar kelereng di ruang tamu. Kedua lobang itu secara tak sengaja terpijak kakinya. Lobang yang terpijak kaki tersebut seketika ambrol. Kejadian itu sekaligus menimbulkan kecurigaan orang-orang yang ada di situ, kemudian atas inisiatif bersama, kedua lobang itu lalu diadakan pembongkaran. Setelah dibongkar, astaga….. ternyata di dalamnya terdapat dua buah peti mati kuno yang terbuka tutupnya. Entah ke mana tutupnya. Di dalam kedua peti mati itu terdapat dua tengkorak manusia. Setelah melihat kedua tengkorak itu Ivansyah menarik kesimpulan bahwa tengkorak yang menampakkan diri semalam adalah dua tengkorak itu.
Misteri tentang dua lobang di vila itu dengan cepat menjadi berita utama di beberapa media. Dengan adanya berita misteri yang muncul dengan tiba-tiba itu seorang kakek Belanda yang tinggal di Surabaya mengaku bahwa kedua tengkorak itu masih familinya sendiri yang hilang beberapa tahun yang silam.
Dua hari kemudian kedua tengkorak itu dipindahkan ke tempat pemakaman familinya di pemakaman Belanda Surabaya. Semenjak dipindahkannya kedua tengkorak itu, Ivansyah merasa tenang tinggal di vila itu untuk bekerja merenovasinya. Hingga pekerjaannya berakhir, Ivansyah sudah tak pernah lagi dihantui ketakutan oleh tengkorak hidup yang baru dialami selama hidupnya. (*)
Sumber